Pada kesempatan kali ini, KALM berkesempatan untuk mewawancarai seorang tamu istimewa bernama Radinka Basuki atau Dinka. Dinka didiagnosa memiliki Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) semenjak dia duduk di bangku sekolah 1 SD. Namun Dinka tidak membiarkan ADHD yang dia miliki untuk menjadi sebuah halangan untuk bisa berpetualang mengunjungi berbagai tempat di dunia. Semenjak tahun 2013, Dinka memutuskan untuk berkarya di Nairobi, Kenya dimana saat ini dia sedang menyelesaikan pendidikan Magister di bidang Antropologi. Sebelumnya Dinka juga sudah pernah tinggal di Amerika Serikat, dan New Zealand.
Good question. Aku sering menemukan diri aku ada di suatu tempat secara tiba-tiba. Aku suka pergi ke tempat-tempat yang tidak mainstream, seperti India, Myanmar, dan melakukan kegiatan seperti hitch hiking yang sebenarnya tidak disukai banyak orang. Aku suka melakukan itu semua karena aku menyukai tantangan dan petualangan. Sesuatu yang bisa dilihat dengan kacamata berbeda setiap hari. Tiada hari tanpa melakukan sesuatu yang baru.
I feel its somehow calming. Aku menyukai tantangan. Tinggal di Kenya, atau travelling di negara-negara tetangga seperti Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, perbatasan Somalia, Sudan - negara-negara itu adalah negara-negara konflik. Aku suka adrenaline rush, ketika otak aku ter-trigger adrenaline rush, ketika tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah ini, aku langsung penasaran, kepo banget. Menurut aku, kepo itu bukan sesuatu yang harus dibuat negatif. Kalau tidak, kita tidak tahu apa yang terjadi. Dengan adrenaline rush itu aku merasa ngeri-ngeri sedap, tapi tenang.
Jadi pada awalnya aku mendaftar untuk menjadi relawan dari Voluntary Services Overseas (VSO). Mereka memiliki program di berbagai negara, termasuk Kenya. Aku pada awalnya memilih negara yang sama sekali tidak berbahasa Inggris. Lalu aku mendaftar untuk ke Ethiopia, karena aku ingin mempelajari suatu bahasa yang beda. Namun di Ethiopia tidak ada tawaran. Sebulan kemudian, ada tawaran untuk bekerja di organisasi yang bergerak untuk membantu anak berkebutuhan khusus di Kenya. Kenya sendiri menggunakan bahasa Swahili. Dari situ aku tertarik, karena bisa mempelajari bahasa baru, dan aku melihat itu sebagai tantangan.
Banyak. Sistem korupsi di Afrika, khususnya di tempat aku tinggal itu merajalela. Hal itu bikin aku bersyukur menjadi orang Indonesia. Walaupun kita di sini mengeluh, seperti kemarin mati lampu, ya, maaf hal itu terjadi. Tapi di Nairobi hampir setiap hari tidak ada air, tidak ada listrik. Air bersih kadang juga tidak ada. Jadi aku mensyukuri ketika keluar dari negara-negara seperti Kenya itu, untuk bisa minum air bersih daripada minum air keran di sana. Hal-hal yang di sini sudah menjadi kebutuhan primer, di sana masih berupa kemewahan. Air bersih, listrik yang nyala 24 jam, kebersihan lingkungan, seperti itu. Walaupun di Kenya udaranya lebih segar.
Untuk masalah korupsi, bisnis aku jadi naik turun. Dimana keluarga aku sampai bilang, Ngapain kalau berada di sana membantu orang-orang yang tidak mampu, tapi kamu sendiri makin terpuruk? Bener juga sih, jadi itulah tantangannya. Jadi tidak keren seperti yang dilihat orang-orang, tapi banyak tantangannya. Dan itu benar-benar melatih mentalitas aku untuk jadi lebih kuat, lebih strict.
Aku tinggal di kampung di luar Nairobi. Aku tinggal dengan orang-orang suku Maasai. Its very nice. Itu sangat menyenangkan. Pemandangannya seperti di film Lion King, tapi akses ke kota sangat susah, karena macet. Orang-orang Maasai itu nomaden, dan mereka gembala sapi, macetnya itu karena sapi di jalanan. Tapi sekarang dengan adanya teknologi seperti Uber - gojek-nya di sana - itu menjadi oke, dibanding waktu pertama kali aku tinggal di sana. Infrastruktur masih banyak yang mengecewakan, pengemudi di jalanan tidak memperhatikan aturan lalu lintas.
Bagaimana aku keluar, bagaimana aku navigate-nya. Untungnya, aku tinggal di tengah alam, di samping Nairobi National Park. National Park itu alamnya seperti Safari. Aku dari kecil pecinta hewan banget, dan tinggalnya tidak jauh dari panti gajah dan penangkaran jerapah. Dengan seringnya aku berinteraksi dengan hewan atau melihat hewan, itu menjadi healing untuk aku.
Kopi dan Afrika juga kombinasi yang baik. Jadi, setiap hari harus ada kopi. Itu bagian dari healing. Di sana udaranya segar, jadi aku banyak jalan kaki. Jadi itu cara-cara aku untuk navigate my ways untuk mencapai mental wellness. Hal lain juga seperti tidak berekspektasi terlalu tinggi.
Karena disana banyak tantangan, jadi salah satu strategi untuk coping adalah merendahkan ekspektasi kita. Bahkan jangan punya ekspektasi apapun secara profesional maupun personal. Karena kalau ekspektasi itu tidak tercapai, sakitnya akan luar biasa. Di sana kan aku tidak punya support system, keluarga, atau teman. Di sana ada teman dekat, tapi cuma sedikit. Semua orang Indonesia yang tinggal di sana juga punya kesibukannya masing-masing, jadi tidak bisa diharapkan. Aku sendiri juga orangnya suka melakukan kegiatan sendirian. Jadi kalau misalnya nyaman dengan diri sendiri, pasti ada cara. Tidak seperti di sini, dimana budayanya komunal, dan harus selalu mencari orang untuk berkumpul misalnya berlima. Aku bukan tipe yang seperti itu. Aku lebih suka sendiri, dan itu benar-benar strategi coping aku.
Kalau mau ditarik ke awal sekali, itu dari masa kecil. Tapi kalau untuk masa-masa yang benar-benar relatable ke semuanya itu ketika aku umur 23, baru backpacking ke India, dan ketika kembali ke New Zealand, saat itu sedang musim dingin. Pada saat itu aku terkena winter blues.
Aku mulai merasakan sensasi di otak dan tubuh yang tidak enak, rasanya flat sekali, dan gelap, seperti tidak ada harapan. Dari situ aku mulai menyadari kalau itu tidak benar. Aku jadi susah bangun pagi, walaupun aku bukan orang yang suka bangun pagi, tapi beda. Badan rasanya jadi berat sekali, padahal secara fisik baik-baik saja. Aku masih bisa berenang dan yoga. Tapi badan terasa berat, seperti di kerangkeng besi. Sistem pemerintahan di New Zealand sangat mempedulikan kesehatan mental, tidak hanya untuk rakyat asli di sana, tapi juga untuk imigran. Ada beberapa layanan gratis atau layanan dengan harga terjangkau yang disediakan di sana, begitu juga dengan hotline gratis. Jadi aku telepon salah satu hotline gratis, aku cerita.
Hotline itu khusus untuk warga di bawah 35 tahun (youth). Konselor di telepon itu bertanya, how close are you to suicide? Seberapa mungkin kamu akan melakukan tindakan bunuh diri? Mereka juga bertanya, Whats your depressive level like? bagaimana tingkatan depresi kamu? Dan yang paling penting bagi mereka adalah apakah aku pernah mencoba untuk bunuh diri atau tidak. Aku sendiri tidak pernah.
Tapi aku tidak tersinggung atas pertanyaannya, karena adanya exposure dari teman-teman yang memang depresif dan galau. Aku sendiri sering menonton dokumenter dan film. Aku juga bersyukur karena di New Zealand gangguan jiwa itu bukan stigma. Jadi, di sana wajar kalau ada yang bilang aku depresi aku memiliki serangan kecemasan, itu sama saja seperti mengatakan aku lagi sakit kepala di Indonesia. Jadi dari pengalaman itu, aku jadi sering konseling, satu kali dalam seminggu.
Kesehatan mental itu adalah kesehatan internal, kesehatan otak kita yang menurut aku lebih penting, dan harusnya seimbang dengan kesehatan fisik kita. Justru harusnya diperhatikan nomor satu. Kalau bisa mungkin di Indonesia harus sering dibicarakan. Untuk awal dibicarakan antar teman dulu. Kemudian jika kita sebagai pendengar, kita juga perlu untuk lebih terbuka, tidak harus selalu merespon, setidaknya jadi pendengar yang baik saja.
Dari secara kasat mata, masih kurang sekali. Bahkan antara internal keluarga kita, kadang aku curhat dengan kondisiku, saat itu direspon dengan diam, atau dengan sekadar, oh, iya, iya, yang penting tahu kan, cara manage-nya? Tapi kalau misalnya berbuat kesalahan berdasarkan impairment aku, ada beberapa komentar tidak enak, misalnya, salahkan aja ADHD-mu, harusnya, kan, sudah sembuh, padahal kenyataannya tidak. Bisa dibilang gangguan itu merupakan kerusakan permanen di neurosistem kita, bukan berarti kita bodoh. Itu cara berpikir kita, cara pandang kita, yang berbeda saja karena pembentukan sel-sel di otak memang berbeda dari asalnya.
Waktu kecil aku juga punya pengalaman tinggal di Amerika Serikat. Beda sekali New Zealand dan AS dengan Indonesia. Di sana kita sangat disarankan untuk menemukan pertolongan secepat mungkin untuk kesehatan mental kita. Kalau kita merasa down, kita langsung akan disuruh ke konselor sekolah. Konselor boleh melakukan asesmen, karena konselor di sana pasti yang sudah profesional dan bersertifikat.
Tapi kalau di berbagai negara di Afrika, termasuk Kenya, masih sangat ada stigma terhadap gangguan jiwa. Misalnya, jika orang memiliki kepanikan akut, atau skizofrenia, itu dianggap tabu, dan akan dipasung atau disembunyikan di rumah, dan orang tersebut tidak dianggap ada. Jadi kalau ada sensus penduduk tiap tahun, satu anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa tersebut tidak diperhitungkan dalam satu unit keluarga. Dan itu ada campur tangan budaya juga.
Stigma muncul karena budaya mereka yang mengajarkan seperti itu, misalnya bahwa itu terjadi karena kerasukan setan. Sebenarnya tidak berbeda jauh dengan di Indonesia. Tapi Indonesia secara kasat mata lebih baik dibandingkan dengan negara-negara di benua Afrika. Setidaknya di sini ada Kalm, ada juga komunitas lain, kita juga sangat aktif di Instagram. Wadah-wadah seperti Kalm sudah masuk di Instagram dan orang-orang yang tidak percaya diri tentang gangguan jiwa kita bisa curhat dengan konselor. Tapi untuk keseluruhan dari Sabang sampai Merauke dalam membicarakan tentang topik kesehatan mental mungkin tidak semudah kita, atau anak Jakarta, yang exposure-nya lebih banyak.
Jadi ADHD itu adalah Attention Deficit/Hyperactivity Disorder, dimana kita yang pengidap ADHD ini susah berkonsentrasi, sangat susah fokus, hiperaktif, tidak bisa diam. Kalau di dewasa itu kelihatannya bisa di satu tempat, tapi sebenarnya tidak juga. Kita susah duduk tenang, dan ada saja sesuatu yang dipegang.
Salah satu ciri khas ADHD adalah impulsif. Kita impulsif sekali. Misalnya ingin melakukan sesuatu, harus saat itu juga dilakukan, walaupun itu bisa melukai kita. Kalau anak kecil misalnya suka pegang colokan listrik, saking penasarannya, pegang aja, tidak peduli dengan rasa sakitnya. Biasanya itu kondisi yang dimulai dari kita kecil, dan bisa terus berlanjut ketika sudah dewasa, seperti aku ini.
Ada juga salah satu ciri khasnya orang dengan ADHD itu emosinya naik-turun. Itu bagian yang tidak menyenangkannya. Jadi biasanya hubungan interpersonal kita dengan individu lain, dalam hubungan sama pacar, atau suami/istri, dan hubungan kita secara profesional di tempat kerja itu sering terganggu karena emosi kita. Karena kita bisa salah pemahaman, gampang tersinggung, dan kalau kita disuruh oleh atasan, bagi kita itu trigger yang mengganggu, rasanya tidak nyaman. Intonasi suara itu seperti memunculkan percikan di otak, yang membuat kita bereaksi seperti tidak nyaman. Dan itu akan mempengaruhi mood kita.
Walaupun di Indonesia yang aku tahu, ADHD sering hanya untuk anak kecil, yang petakilan, berisik, suka ganggu teman di sekolah, secara akademis turun karena tidak bisa mendengarkan guru dan tidak bisa duduk diam. Jadi psikolog di Jakarta, karena aku tahu yang di Jakarta, lebih banyak menangani kasus ADHD di anak kecil. Mungkin mereka percaya kalau pakai treatment dengan obat-obatan seperti Ritalin akan sembuh, padahal sebenarnya kondisi otak sudah terbentuk sedemikian rupa. Itu yang orang-orang kurang tahu dari sekarang, kenapa pemahaman kita tentang berbagai hal itu beda, kita tidak bisa baca social cues, sama seperti orang autisme sebetulnya.
Waktu kecil itu aku pecicilan, tidak bisa diam, bicara cepat, dan kalau cerita dari satu topik bercabang ke topik lainnya. Kita juga tidak terlalu kenal konsep waktu, persepsi kita tentang waktu itu beda. Untuk beberapa alasan kita tidak bisa tepat waktu, bukan berarti kita tidak menghargai waktu, tapi kita suka menggampangkan. Misalnya janjian jam 1, sekarang masih jam 12, masih bisa main game dulu, padahal rumah di Cilandak, janji di Menteng. Kita pikir ada ojek online, tapi tidak dikalkulasi durasinya. Jadi kasarnya kita seperti menggampangkan waktu, tapi karena kita tidak punya konsep. Kita juga susah fokus, dan punya energi berlebih. Aku suka jalan. Kalau misalnya lagi merasa kebanyakan energi, harus disalurkan dengan jalan, berenang, karena itu bisa bikin aku kalem.
Stigma bahwa kita tidak bisa fokus itu benar.
Tapi kita punya superpower yang tidak banyak orang-orang tahu, hyperfocus. Misalnya kita dikasih 5 tugas, pada umumnya orang yang ADHD tidak bisa multitask, aku tidak bisa multitask. Saat mengerjakan tugas, lompat-lompat dari tugas 1 ke tugas lainnya, karena kita gampang bosen. Tapi kalau kita dikasih 1 tugas dan kita sangat suka, tugas itu menstimulasi kita secara mental, fisik, cara kita berpikir, kita bisa mengerjakan tugas itu secara intens, misalnya dari jam 1 siang sampai 8 malam. Mungkin akan ada istirahat untuk makan selingan, tapi kita akan menyelesaikan tugasnya dengan intens dan tidak boleh diganggu. Kita bisa komitmen untuk mengerjakan 1 tugas hingga selesai, tapi banyak orang yang melihat kita akan keteteran, malas. Tapi kalau kita menggunakan hyperfocus kita, semuanya akan selesai. Stigma itu setiap hari ada, bahkan dari keluarga sendiri. Yang penting kita tahu kekurangan dan kelebihan kita, dan semua kelemahan kita dijadikan superpower saja. Setiap orang punya superpower sendiri.
Keluarga aku secara umum selalu menganggap bahwa aku menggunakan ADHD sebagai alasan atas perbuatan aku. Misalnya terlambat, ada sesuatu yang tidak dikerjakan, karena kita kalau ada informasi masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Bukan berarti sengaja, tapi kalau ada informasi tidak penting akan hilang begitu saja. Misalnya ada permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang hasilnya bukan hidup atau mati, kita akan fokus untuk melakukan yang lebih penting. Kebanyakan dari kita tidak bisa multitasking. Kalau misalnya kita melupakan sesuatu itu wajar. Aku bukan menggunakan ADHD sebagai alasan, tapi ADHD itu penyebab aku melakukan itu semua.
Aku pertama kali didiagnosis waktu aku umur 7 tahun ketika aku di kelas 1 SD. Aku sering keluar kelas. Guru-guru tidak suka, karena kesannya kurang ajar, bandel. Aku susah belajar, susah konsentrasi, suka ngelawan, tidak bisa sama otoriter. Jadi setelah didiagnosis tetap sama saja, masih ada, karena itu sebenarnya impairment. Waktu tahun ini aku merasa aku susah konsentrasi, emosi naik turun, dan tidak cocok sama otoriter
Lalu saat dewasa aku juga pernah ke konselor di Jakarta, khusus datang dari Kenya karena di sana masih ada stigma dan biayanya sangat mahal, juga karena beda budaya. Aku lebih minat berbicara dengan profesional di sini yang budayanya sama dengan aku. Dalam artian satu konteks ketika membicarakan topik kesehatan mental atau gangguan yang aku miliki.
Sayangnya, saat itu aku menemukan orang yang sangat teoritis dan dia bilang harusnya aku sudah sembuh, karena aku sudah bisa kerja. Tapi kenyataannya aku memiliki banyak konflik yang aku hadapi dengan kolega-kolega dan atasan di dunia profesional aku, yang mungkin mempengaruhi orang tersebut secara personal atau profesional, dan mempengaruhi aku juga. Tapi aku melalui itu semua.
Aku kalau ngomong langsung terang-terangan. Lalu dia bilang, itu politik, wajar terjadi dimana-mana. Tapi bukan begitu, aku tahu dimana trigger aku. Jadi untuk dibilang sudah sembuh karena sudah bisa kerja, itu tidak tepat. Kita bisa kerja, tergantung apa yang kita suka, kita bisa menyampaikan apa yang kita suka. Tapi kita butuh ditangani secara khusus, walaupun kesannya manja. Aku juga tahu secara khusus harus mengatur apa, misalnya tidak bisa satu ruangan dengan banyak orang, bisanya yang sepi atau di pojokan sendiri.
Aku juga pernah baca tentang neuro diversity, kondisi kerusakan otak seperti kita di dunia barat disebutnya neuro diversity. Cara berpikir otak kita unik. Bahkan beberapa jenius, kalau tidak ADHD, autistik, ya mengidap aspergers. Seperti Albert Einstein, contohnya. Will Smith juga ADHD. Di satu perspektif kita dianggap unik, tapi kalau dengan kacamata di sini karena lingkungan kita berfungsi sedemikian rupa, kita dianggapnya menyebalkan, petakilan, dan bahkan kurang dewasa untuk orang dewasa seperti aku. Itu salah satu stigma yang sering orang lain lontarkan ke aku.
Karena suka keteteran, tidak bisa multitasking. Mungkin kadar dewasa kita diukur dari kesuksesan kita, berapa banyak uang, ketepatan waktu kita, banyaknya teman yang kita punya, kemudahan kita bergaul. Aku juga kadang susah bergaul karena sisi introvert-ku juga. Tapi hal itu dianggap tidak dewasa. Kita orang dewasa, tapi cara kita yang berbeda. Orang dewasa harus normal, sementara aku terlalu animatif, jadi dianggapnya masih seperti anak kecil. Jadi bukan berarti orang seperti kita tidak dewasa karena kedewasaan itu mungkin yang diharapkan ke kita berdasarkan tuntutan masyarakat.
Kalau teman-teman yang tidak tahu, seperti sewaktu aku kuliah, suka menghina kalau aku autis, Ah, Dinka autis mulu nih, sukanya sendirian... Lalu aku bilang, Kalau beneran emang kenapa? Mereka menjawab, Ya, jangan, sih, kasihan. Aku bilang, Padahal kalau tidak ada orang autis, tidak akan ada teori relativitas, lalu mereka bilang Oh... iya, ya. Jadi aku kasih referensi orang-orang terkenal yang mengidap gangguan jiwa.
Tapi kalau dari orang-orang terdekat yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap aku dan tidak bisa menerima keadaan aku, itu sakit sekali. Aku sering nangis. Aku makhluk emosional, dan menangis membantu aku. Bercerita dengan profesional juga membantu. Aku dulu suka konseling selama 3 tahun. Aku suka ngobrol dengan orang yang bisa aku percaya. Setiap orang, seaneh apapun itu, pasti punya pendukung, punya teman dekat yang tidak akan menghakimi kita dan akan menerima kita. Salah satu anggota keluarga aku juga tidak pernah menghakimi. Orang-orang seperti itu istimewa, jadi harus kita perlakukan dengan baik, kita embrace mereka. Namun itu susah karena kita minta dimaklumi, tapi orang-orang dengan ADHD juga kecemasannya tinggi. Itu bagian dari emosi kita yang naik turun. Setiap kali aku dikomentari secara negatif, kecemasan aku bergejolak. Cara copingnya dengan jalan, menyendiri, naik MRT, dimana aku bisa keluar dari situasi yang aku rasa tidak sehat. Aku akan cari alasan untuk bisa keluar ruangan.
Baca sebanyak-banyaknya, ngobrol dengan orang-orang yang memiliki gangguan, mereka yang otaknya terbentuk sedemikian rupa, yang neurodiverse seperti aku, dengan orang autisme yang dianggap tidak punya empati. Padahal empati mereka besar, mereka punya perasaan, empati itu bagian dari perasaan. Ngobrol dengan orang yang punya aspergers, yang tidak bisa baca, dyslexia, karena mereka memang tidak bisa melihat kata-kata secara normal. Tanya pengalaman mereka. Boleh sekali kepoin kita, untuk tahu banyak. Get to know us! Bukan cuma jadi pendengar saja, tapi interaksi sama kita. Kalau misalnya dicurhatin sama seseorang pengidap sesuatu, jadilah pendengar yang baik. Tidak setiap saat semua hal harus direspon layaknya sinetron. Cukup jadi pendengar yang baik, itu berarti untuk kita.
Sesaat setelah kamu merasa tidak nyaman pada hari itu, coba mulai browsing. Banyak platform secara online, bahkan di Instagram seperti KALM, yang bisa membantu. Melakukan konseling online atau mengirim email, pasti akan dibalas, kalau belum nyaman face-to-face. Kalau aku sangat nyaman dengan face-to-face dari dulu.
Kalau belum nyaman, mulai sekali-sekali ke Kalmselor lewat aplikasi KALM, coba yang free trial. Jangan merasa sangat bersalah karena harus pergi ke seorang profesional. Kalian perlu kalau kalian merasa tidak nyaman secara mental, tidak apa-apa, jangan merasa bersalah. Get the help you need!
Aku nyadar dari pertama aku merasakan depresi di umur 23 ketika aku sedang tinggal di New Zealand. Setelah itu, semua hal menjadi tentang aku sendiri. Memang egois, karena kalau misalnya lagi tidak nyaman dengan diri sendiri, aku benar-benar fokus ke aku. Walaupun mungkin aku jadi ketinggalan sesi kumpul sama teman, karena memang aku lebih sering menyendiri. Tapi sekarang kehidupan sosial aku sudah lebih mending. Kalau diajak kumpul, aku tidak terlalu menganalisa apakah mereka kepo tentang aku, ada suara-suara negatif seperti itu, tapi sekarang aku bisa mengiyakan dan merasa mereka tulus. Jangan terlalu sering mengurung diri juga, penting untuk bersosialisasi. Kita boleh menjadi introvert, tapi karena aku penasaran dengan orang lain, jadi aku mau memberi waktu untuk bertemu. Aku percaya bahwa orang-orang nyaman sama kehadiran aku, setelah itu aku akan pergi. Yang penting aku berhasil melakukannya, setiap detik berharga. Lakukan apapun yang nyaman.
Sewaktu di New Zealand, setiap minggu aku konseling. Saat itu aku bekerja di NGO, dan gajinya nyaman. Kebetulan di New Zealand aku menemukan institusi dimana biaya konselingnya disubsidi negara, jadi aku bisa membayar sesuai kemampuanku. Jadi dengan gajiku itu, aku bersyukur bisa konsisten untuk konseling setiap hari Jumat. Setiap hari Jumat aku sangat mengantisipasi sesi konseling itu, aku punya banyak cerita yang bisa diceritakan.
Konseling bukan sekadar cerita ketika sedang galau, sedih, tapi ketika aku ceria pun aku ceritakan. Apa yang terjadi ketika aku ceria, nanti dilakukan asesmen oleh psikolog. Dilihat metode yang berhasil buatku kalau aku cara pikir aku yang bagaimana. Jadi kita dibantu untuk menjalankan hari kita sehari-hari dengan metode tertentu. Di situ saat Cognitive Behavioral Therapy (CBT) masuk. Orang yang depresi, entah karena kondisi seperti aku yang ADHD, atau kerusakan di otak lainnya, mereka punya pola mengapa mereka bisa down. Pola itu dengan CBT, terapi yang mengubah pola pikir, perbuatan, sikap, pola sehari-hari, itu diubah. Bagi kita, misalnya pagi-pagi tidak bisa bangun tidur, ditulis di diary, ada bantuannya.
Itu karena aku merasa tidak nyaman, kecemasan aku makin naik turun. Aku sudah cukup baca tentang kerusakan seperti ADHD, autisme, dan asesmen online. Tapi asesmen online tidak seakurat itu. Jadi kalau baca online, aku dapat dikategorikan antara ADHD dan Asperger. Aku melihatnya yang paling etis adalah ketika kita bertemu profesional. Di situ aku berpikir untuk kembali ke Indonesia hanya untuk menyelesaikan itu.
Setelah mendapatkan diagnosis lagi saat dewasa, aku merasa lebih lega, lebih tahu penyebabnya, ada sebutannya untuk kondisiku. Ada orang yang menganggap itu cuma label, dan itu tidak apa-apa, setiap orang beda-beda. Tapi bagi aku itu menenangkan, lebih menyembuhkan. Beda-beda setiap orang. Aku menganjurkan kalau merasa tidak tenang secara mental, cari bantuan. Itu wajar sekali. Kalau misalnya tidak mau berlanjut, tapi sudah tahu cara mengatasinya harus bagaimana, yang penting tahu aja, tidak apa-apa. Bagi aku itu menenangkan sekali untuk mengetahui label itu.
Aku pernah mencoba konseling online meski memang lebih sering konselingface-to-face. Tapi bahkan KALM lewat aplikasi konseling onlinenya membantu aku menemukan psikolog untuk men-diagnosa ADHD aku. Aku baca-baca dan beritahu pengalaman aku dengan kesehatan mental aku. Aku bicara dengan Kalmselor tidak dari dasar, aku sudah ada pertanyaan yang aku harus aku ajukan untuk dapat suatu diagnosis. Sudah lebih fokus karena aku research terlebih dahulu.
KALM itu wadah yang jenius, karena menenangkan sekali bagi mereka yang belum tahu apa itu konseling, mengapa butuh konseling. Apakah itu sekadar wadah curhat, seperti curhat dengan teman kita. Ternyata tidak, karena ini preofesional. Waktu itu aku masih di Kenya dan terdapat perbedaan waktu 5 jam, Kalmselor aku akomodir sekali. Kita suka menentukan waktu. Karena aku suka konseling, jadi itu sesuatu yang aku paling bisa tepat waktu. Kita siap, dan dia dedikasikan waktu selama seminggu, dan dia bilang Oke Dinka, sukses!. Aku tidak merasa dihakimi atau merasa terlalu kaku, karena aku juga siap, aku tahu apa yang harus aku pertanyakan. Mungkin pengalaman lain akan berbeda, akan ada yang masih malu-malu, atau skeptis. Tapi coba gunakan, setidaknya yang 3 hari trial. Harus gunakan!
Kalau pesan yang paling krusial untuk teman-teman, terima diri sendiri apa adanya. Apapun kondisi kita, bertemanlah dengan kondisi itu. Kalau kamu tahu kamu punya depresi dan kecemasan, ditemani, jangan dimusuhi. Karena itu bagian dari kita, itu yang bikin kita sangat kuat dan pembentukan karakter kita. Survive, walaupun situasi kelihatannya tidak ada harapan. Atau kamu merasa hopeless dimana hidup itu tidak ada artinya, dan kamu berpikir untuk mengakhiri hidup, jangan. Jangan merasa bersalah, kurang berdoa atau apapun, tidak.
Tidak usah ada rasa salah, itu perjalanan hidup kita, terima itu. Semua itu jangan dianggap kelemahan, tapi itu kekuatan, superpower kita. Kecemasan, depresi, itu semua sahabat kita. Semakin kita rangkul dengan metode kita sendiri, cara menyembuhkan kita, misalnya dengan jalan kaki sendiri, atau mendengarkan musik, nonton film, itu akan semakin hilang. Tidak ada perasaan yang permanen. Itu yang harus diingat, tidak ada perasaan atau kondisi yang permanen. Memang akan terasa berat pada suatu waktu, tapi semakin kita menerima diri kita. Breathe in breathe out. Bernapas sangat penting, entah itu ketika meditasi atau berdoa. Tapi perhatikan pernapasan kita. Ketika kita sedang depresi, atau marah, atau cemas, pernapasan kita jadi tidak normal, jadi lebih cepat. Perhatikan itu, dan perhatikan juga emosi kita saat kita buang napas. Percayalah kalau itu tidak permanen. So Stay, kita membutuhkan kamu, dunia membutuhkan kamu, KALM membutuhkan kamu. Aku pernah mengalami itu, dan masih mengalami, tapi aku tetap bertahan, kalian juga harus tetap bertahan.
Harapanku besar sekali. Tolong lebih diobrolkan. Sering-sering ngobrol dan melakukan penyuluhan di sekolah-sekolah, universitas, dimana saja ada public space. Bikin workshop yang harganya terjangkau, karena di sini melakukan intervensi dengan profesional itu masih sangat mahal menurutku. Semoga kedepannya akan jauh lebih disanggupi masyarakat. Semoga semua lapisan masyarakat bisa mengakses layanan psikolog dan masalah mereka. Itu yang sangat penting. Semoga kurikulum tentang kesehatan mental dimasukkan juga di kurikulum Indonesia. Kita harus belajar tentang itu. Supaya kita belajar jadi manusia berempati.
Kalau dari KALMers ada yang merasa sedang berjuang dengan kesehatan mental, jangan ragu untuk berbicara dengan konselor profesional melalui aplikasi KALM.