Crow: Cosplay, Gangguan Kecemasan Dan Konseling

Description

KALM: Hai KALMers, hari ini KALM berkesempatan mewawancarai salah satu cosplayer di Indonesia yaitu Crow yang adalah juga seorang penyintas gangguan depresi dan kecemasan. Halo, Crow!


Crow: Halo

Crow, boleh perkenalkan diri dahulu?


Halo, semuanya! Panggil saja saya Crow. Saya hobi cosplay sudah dari tahun 2012.

Kenapa saya dipanggil Crow awalnya tidak sengaja. Awalnya roleplayer dari karakternya Kuroshitsuji atau Black Butler. Disitu saya roleplay jadi Sebastian, karena waktu itu booming sekali karakter Sebastian jadi dikasih nama tengah untuk membedakan. Nama tengah saya kebetulan Crow, mulai dari situ jadi dipanggilnya Crow dan ternyata nggak berubah sampai sekarang.

Tapi sebenarnya cosplay itu apa sih?


Cosplay itu asal katanya dari costume sama player. Jadi simpelnya itu kita berpakaian seperti karakter dari anime, manga atau movie.

Seberapa besar pengaruh cosplay ini ke kamu?


Pengaruh cosplay cukup besar. Seandainya saya nggak ketemu komunitas cosplay gitu kayaknya saya bakal tetep jadi orang yang introvert banget. Soalnya susah ketemu teman yang nyambung. Kebetulan pas ketemu komunitas ini, ketemu banyak orang yang macem-macem juga, ada yang sudah berkeluarga tapi masih suka juga. Jadi ternyata suka sama hobi ini bukan cuma anak kecil doank. Ada kok cosplayer yang udah 70 tahunan!

Wow, jadi mungkin ada KALMers yang tertarik dengan dunia cosplay bisa masuk untuk cari-cari pengalaman dan teman baru.


Sekarang KALM ingin ngobrol sekitar topik kesehatan mental. Crow bisa sharing nggak mengenai gangguan kecemasan yang kamu alami?


Sebenernya udah ngalamin ini sejak 2,5 tahun yang lalu. Sempet pengen nyari bantuan. Pas pertama kali nyoba itu kan sendiri, nggak didampingi orang tua, dan pas ketahuan dapat surat rujukan untuk periksa ke Rumah Sakit Jiwa [aku] dimarahin.

Kok dimarahin? Kenapa?


Kamu ngapain ke RSJ? Kamu gila?

Segala macam gitu, kan. Padahal itu surat rujukan dari puskesmas emang dirujuknya kebetulan ke RSJ. Kebetulan tahun ini saya bisa terus terang ke orang tua kalau saya itu butuh bantuan karena saya punya masalah.

Awalnya harus ngotot-ngototan dulu. Orang Tua lebih memilih jalur agama sedangkan saya lebih memilih jalur medis. Bukan berarti saya nggak menerima jalur agama juga, loh... Akhirnya, saat itu Orang Tua mulai mau coba mau nganterin saya [ke psikolog] - Tapi itu setelah perdebatan panjang.

Jadi sebenarnya Orang Tua masih punya stigma yang negatif soal kesehatan mental?


Sangat! Stigma negatif-nya itu meskipun sudah ketemu pihak yang sekiranya sudah mengobati pun, mereka selalu nanya padahal baru sekali dua kali, Gimana udah enakan? Udah sembuh? Kan, nggak secepat itu.

Jadi agak susah jelasinnya kalau itu nggak kayak ngobatin Flu. Atau [sakit] yang dikasih antibiotik, udah [sembuh] gitu.

Dari 2,5 tahun itu apa sih titik balik yang membuat kamu mau ke psikolog?


Itu saat nggak cuma aku yang sadar tapi disadari sama orang lain juga. Orang lain udah mulai sadar, udah mulai concern. Crow, kok lo kurus banget, sih? Kamu makan, gak? Atau. Crow, kamu kok mata panda banget, sih? Kamu tidur nggak? Atau, kamu sehat, kan, di kos-an? Kenapa kamu nggak pernah keluar-keluar? Nah, pas itu udah mulai keliatan banget, ya, jadi merasa udah kayak gini harus berobat.

Lalu apa hal yang dianjurkan ke kamu untuk mengatasi masalah itu oleh si psikolog?


Kalo untuk mengatasi awalnya aku disuruh tulis apa sih yang bikin anxious gitu. Terus coba pikirin kenapa masalah ini yang buat kamu anxious. Kemudian dicari jalan keluarnya, gitu. Kadang bingung juga, sih. Aku ngerasa tapi nggak tau kenapa.

Crow sudah berapa kali pergi ke psikolog?


Sekitar 5 kali lebih dari bulan Juli, 2019

Ada tidak perubahan yang kamu rasakan?


Perubahan, sih, untuk masalah utamanya masih sedikit banget. [Karena] sebenarnya akar-akar masalahnya banyak. Masih belum terselesaikan semua baru satu-dua, terutama yang masalah terkait orang tua, yang sudah ada penyelesaiannya.

Ketika kamu ke psikolog kalau boleh tau seperti apa? Bisa kasih gambaran ke KALMers yang mungkin merasa takut kalau ketemu psikolog nantinya ditanya macam-macam atau merasa di-judge.


Untuk judging sih engga. Ketika cerita, ketika awalnya ditemani orang tua, waktu kita mau cerita gitu ditanya dulu, kok, Ayah sama Ibu boleh stay disini atau keluar. Baru kalau kita nggak mau orang tua mendengar, mereka keluar. Jadi cuma kita berdua aja dan nanyanya di awal-awal kayak biasa dulu: Coba diceritakan masalahnya apa?

Kalau saya karena saya suka buntu, saya suka nggak tau mau cerita apa kalau sudah ditanya. Jadi sebelum ditanya saya sudah menulis duluan. Jadi kayak apa, sih, yang saya rasakan - misal saya merasakan sesuatu atau kena serangan atau apa - saya tulis dulu di handphone. Jadi ketika ketemu dokter atau psikolog saya tinggal nyerahin handphone, Punten, tolong dibaca. Jadi hemat waktu juga, kan? Yang dari handphone itu baru dia nge-probing lagi.

Kamu tadi kan bilang kadang anxiety suka kambuh. Ketika itu terjadi apa yang akan kamu lakukan?


Tergantung intensitasnya, sih. Kalau intensitasnya masih bisa ditangani, ya, paling seperti cari alternatif kegiatan. Misalnya waktu malam di kos-an aku merasa begitu aku coba keluar. Mungkin bisa reda atau aku biasanya larinya ke tidur.

Menurut kamu orang-orang mencari bantuan ke psikolog itu bagaimana?


Menurut aku seperti itu malah lebih bagus dibandingkan yang dipendam sendiri. Karena dengan dipendam sendiri kita jadi nggak tau gimana cara menyelesaikannya. Jadi lebih bagus cari bantuan supaya kita sendiri bisa lepas dari masalah itu. Dianjurkan sekali, sih!

Bagaimana dengan konseling online? Sudah pernah coba belum?


Pernah beberapa kali.

Apa pendapat kamu tentang konseling online?


Sebenarnya lumayan berpengaruh, ya. Banyak orang mungkin awal-awalnya takut untuk ketemu psikolog atau ke psikiater. Mereka belum punya bayangan bakal diapain atau ngapain, sekaligus stigma-stigma buruk yang ada dilingkungan kalau kita mau konsultasi. Nah, dengan adanya konsultasi online ini jadi kita bisa komunikasi dengan mudah dan cepat.

Sebenernya konsultasi online juga lebih membuat orang sadar untuk mencari bantuan.

KALMers bisa coba konseling dengan aplikasi KALM, juga lho!

Stigma dan opini masyarakat apa sih yang ingin kamu ubah tentang kesehatan mental secara umum atau spesifik ?


Secara umum hanya nggak mau dicap kalau orang yang punya sakit mental itu otomatis gila. Padahal penyakit mental itu ada banyak range-nya. Nggak selalu kita meminta bantuan ke psikolog atau psikiater itu sama dengan gila.

Atau misal kita sendiri yang ingin jadi psikolog atau psikiater terus dibilang, Kamu ngapain nanti kerjanya ngobatin orang gila. Jadi ingin menyadarkan saja apa, sih, mental health itu. Kenapa itu penting. Meskipun sekarang sudah banyak juga yang share-share tentang itu kan.

Satu lagi juga, jangan self diagnosis karena bisa malah lebih membahayakan diri sendiri!

Betul, self-diagnosing itu bisa malah bikin masalah baru! Terakhi, apa yang kamu ingin sampaikan untuk orang-orang yang lagi struggling, yang lagi berjuang dengan masalah mental mereka?


Intinya, sih, kalian gak sendiri. Masih ada orang lain yang mau membantu kalian. Jangan ragu untuk meminta tolong. Jangan malu untuk meminta tolong karena orang-orang pun pasti akan menolong kalian kalau kalian bisa terbuka.

Betul banget kalau kamu nggak sendirian dan its okay not to be okay. Terima kasih banyak, Crow, atas waktunya. Semoga cerita Crow bisa menginspirasi KALMers yang lain.


KALMers bisa baca artikel-artikel KALM lain disini.

Baca Artikel Lainnya

Temukan topik yang sesuai denganmu

Ikuti update artikel psikologi dari KALM